Tersenyum bahagia diiringi bulir-bulir bening turun merayap dari kedua
matanya. Hujan di musim kemarau. Itulah yang terjadi karena ia tidak
mampu menerjemahkan rasa yang bergemuruh di dadanya. Rasa itu bercampur
aduk sehingga ia sendiri tidak bisa memaknai air mata yang jatuh, juga
senyum yang mengembang. Bahagiakah dia? Atau itu adalah air mata
kepiluan? Dihapusnya beberapa kali namun tetap saja menetes hingga
mengorbankan beberapa tisu di tangannya.
“Bunda nangis? Bunda
cedih ya?” Bidadari kecilnya datang dengan sebuah boneka kecil yang
dipukul-pukulkan ke wajah ibunya. Si Kecil belum kan mampu menebak
perasaan ibunya.
“Gak kok…Bunda aja senyum. Kok Rara
bilang Bunda sedih. Rara dari mana?” tanyanya sambil beberapa kali
menyapu sisa-sisa air di pipinya. ”Rara nonton tv gih ama ayah sana.
Ayah lagi nonton tv kan? Bunda mau selesaikan dulu kerja bunda, nanti
bunda juga nonton tv bareng Rara, ok?” tanpa banyak tanya lagi gadis
kecil itu pun berlari menuju ruang tamu. Ibu muda itupun kembali masuk
ke dunianya sendiri.
Dengan satu klik saja sebuah foto profil
di Facebook itu pun kembali mampir dimatanya. ’Add as Friend’ seakan
menarik-narik coursor-nya. Tak sabar untuk mendapatkan informasi orang
yang telah sekian lama hilang dari mata tapi masih hidup di jantung
hatinya. “Dimana kau sekarang, Kak? Sudah sukseskah dirimu? Sudah berapa
anakmu? Masihkah kau ingat padaku?” pertanyaan-pertanyaan itu memaksa
ia membuka lembaran-lembaran kehidupan sebelas tahun silam. Dari
selembar foto yang ada dihadapannya itu, nampaklah tidak banyak yang
berubah. Senyumnya masih sama. Gaya rambutnya masih sama. Bahkan gaya
berdirinya pun masih sama. Terasa sebelas tahun yang lalu seakan baru
saja terjadi kemaren sore. Ingatan itu kembali bersemi membuat ia
bernostalgia:
”Ada apa Rifqi? kamu mau ketemu saya?”
”Maaf Pak, mengganggu sebentar. Saya memanggil Qanita Sajidah. Ibu BK
memanggilnya untuk urusan lomba karya tulis” Rifqi setengah berbisik di
depan kelas itu.
”Kapan?”
”Sekarang Pak jika Bapak izinkan”
”Nita, kamu dipanggil ke kantor. Latihan ini kamu jadikan PR dan kumpul besok. Pagi-pagi letakkan di atas meja saya ya”.
”Ya pak” siswi cantik berambut panjang itu pun menutup bukunya satu
persatu dan memasukkannya ke delam tas. Ia melangkah berlalu dihadapan
guru Bahasa Indonesia dengan kaca mata tebal tersebut.
”Terima
kasih, Pak” pamit Rifqi yang telah lebih dahulu melangkah tanpa menunggu
jawaban dari guru Bahasa Indonesia itu. Ia melangkah keluar dari kelas
yang disusul Qanita di belakangnya.
”Cuma kita berdua yang mewakili sekolah” suara Rifqi meluncur begitu saja setelah beberapa langkah meninggalkan kelas itu.
”Yang lain kok gak jadi ikut, Kak?” sebagai adik kelas, walau pun belum
kenal betul dan biar terkesan sopan, Qanita memanggil cowok itu dengan
sebutan ’Kak’. Tapi siapa yang tidak kenal cowok yang berjalan di
hadapannya ini? Bisa-bisa semut-semut sekolah ini mengenalnya. Rifqi
Mukhtarullah, atau biasa dipanggil Rifqi atau Qiqi. Segudang prestasi
akademis telah ia sandang. Merajai beberapa kegiatan ekskul dari pramuka
hingga paduan suara. Jarang sekali absen dari berbagai lomba. Beberapa
tropi bergengsi pun telah ia persembahkan untuk mengharumkan nama
sekolah. Siswa kesayangan guru-guru. Siswa teladan. Juara kelas.
Pembesar OSIS. Dan entah predikat apa lagi yang menempel kepadanya
hingga ia begitu termasyhur.
”Mana saya tau.” jawabnya ringkas
dan dingin tanpa menoleh. Ia terus berjalan menyelusuri koridor melewati
kelas demi kelas. Qanita pun lebih memilih tetap berjalan beberapa
langkah dibelakangnya. ’Sombong juga ni cowok’. Dalam hatinya. Ia mulai
merasa tidak nyaman dengan jawaban singkat itu. Memang selama ini ia
tidak begitu peduli dengan cowok terkenal ini, khususnya di kalangan
kaum hawa teman-teman sekelasnya.
”Ketemu siapa?” dicobanya lagi memecah keheningan.
”Ikut saja”
”kemana?”
”Gak dengar pa Pak Lubis tadi bilang kamu dipanggil ke kantor?” jawab
Rifqi lebik ketus lagi. Sedikit menoleh ke belakang dibarengi wajah
sewot membuat Qanita menundukkan kepala malu sekaligus dongkol. Ia
kemudian mengalihkan pandangan ke lapangan basket di sisi kirinya. Di
tengah teriknya matahari tak menghalangi beberapa siswa berpakaian olah
raga lompat sana lompat sini bersama si bundar yang dipantul-pantulkan
ke lantai. Iya hanya melempar senyum ketika salah satu diantara mereka
bersuit-suit meggoda. Lebih-lebih lagi berbarengan dengan melewati kelas
Rifqi yang kebetulan sedang tidak ada guru di dalam. Riuh siulan dan
suara-suara menggoda semakin tak terkendali. Entah menggoda dirinya atau
ngeledeg Rifqi. Tidak tahu pasti. Namun Rifqi sedikit pun tak
menggubris suara teman-teman sekelasnya itu. Ia masih berjalan santai
menuju ruang Bimbingan Konseling.
”Ibu sudah baca semua naskah
yang masuk. Ada tujuh naskah semua. Tapi karena panitia hanya meminta
dua naskah, nampaknya naskah kalian berdua yang paling cocok untuk
dikirim. Benar naskah ini kalian sendiri? Tidak plagiat kan?” tanya guru
BK itu sambil menunjukkan dua karya tulis di tangannya
”Benar Buk” Jawab Rifqi dan Qanita hampir bersamaan dan kemudain mereka saling menoleh.
”Saya tulis sendiri buk…” Rifqi menegaskan jawabannya.
”Ok. Ibu percaya pada kalian. Naskah ini Ibu kembalikan dan kalian
masih ada waktu satu minggu menjelang deadline. Kalian diskusikanlah dan
perbaiki mana yang perlu diperbaiki. Jika membutuhkan buku referensi
bilang saja sama Ibu. Jika tidak ada di perpustakaan sekolah, beli saja,
nanti uangnya diganti. Ibu ingin kalian mengerjakannya semaksimal
mungkin ” terhenti sebentar, dan kembali meneruskan ”Ada yang mau
ditanyakan? Jika tidak, nama baik sekolah untuk lomba karya ilmiah kali
ini Ibu percayakan pada kalian berdua. Ibu yakin kalian bisa melakukan
yang terbaik” panjang lebar guru Bimbingan Konseling itu memberikan
bimbingan, motivasi, harapan dan impian. Tidak salah tugasnya sebagai
guru konseling yang bertugas dan berfungsi untuk membimbing dan
memotivasi. Meluruskan siswa yang melenceng. Membenarkan yang salah.
Mengingatkan bagi yang terhilaf. Bukan sebaliknya, sering kali ditemui
di sekolah-sekolah guru Bimbingan Konseling mengambil alih fungsi
polisi, hakim, dan jaksa. Menangkap, mengintrogasi, mengadili, dan
menghukum sehingga tidak jarang menjadi momok bagi siswa. Ibu Dra.
Sa’adah selayaknya menjadi contoh seorang guru Bimbingan Konseling yang
berdedikasi. Semua masalah siswa yang sampai di tangannya pasti selesai
dengan baik. Disamping menjalankan fungsi sebagai guru, beliau juga
menyatukan tugasnya dengan nilai-nilai keibuan. Kasih sayang dalam
bimbingannya bagai angin syurga bagi siswa. Seorang bunda yang menjaga
anak-anaknya.
“Insya Allah Bu, kami akan berusaha” jawab Qanita
lembut tapi semangat. Walau dalam hati penuh pertanyaan mungkinkah ia
bekerja sama dengan cowok sombong di sebelahnya ini? Huh… rasanya mau
mundur saja. Tapi mana mungkin mengecewakan Ibu Sa’adah yang telah
sepenuhnya mempercayakan lomba ini pada mereka berdua.
==***==
Jumat dan Sabtu berlalu tanpa berita secuil pun dari Rifqi. Karena
sudah terlanjur sebel pada ’pandangan’ pertama Qanita pun tidak mau
ambil peduli. Toh rasanya juga sudah maksimal naskah yang ia tulis.
Tidak perlu perbaikan lagi.
”Kak, Kakakkk…. ada telfon. Cepatan!” teriak Icha sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya.
”Dari siapa?”
”Gak tau. Dari cowok, yang jelas. Tanya aja sendiri” Icha pun berlalu.
Dengan malas-malasan Qanita keluar dari kamar menuju ruang tamu. Hari
Minggu menciptakan suasana malas yang selalu saja susah untuk
dikalahkan.
”Asslamu’alaikum. Haloo…”
”waalaikumsalam.
Apa kabar Nita? Kamu baru bangun ya? Hayooo… anak gadis gak boleh molor
lo. Anak cowok boleh he he he…” suara tawa dari seberang terasa hangat,
riang, dan bersahabat
”Ah gak kok, udah bangun dari tadi.
Siapa bilang aku baru bangun? Maaf ini siapa ya?” Qanita mengerutkan
kening menebak-nebak suara dari sebelah. Serasa kenal tapi tak yakin.
Tidak mungkin Rifqi yang begitu dingin dan ketus dua hari yang lalu bisa
seriang ini. Dari mana dia tau nomor telfon rumah ini?
”Yah…
udah lupa ya? Maaf Jumat kemaren aku agak bete he he he… Gini Nit, aku
udah baca naskah kamu dan menurut aku ada beberapa poin penting yang
harus kita perbaiki. Naskah aku juga sih setelah aku baca berulang kali.
Lomba ini kan yang ngadain partai politik. Kita harus hati-hati dalam
menyampaikan data dan informasi. Nah untuk lebih akuratnya data yang
kita sampaikan dalam karya ilmiah ini, sebaiknya kita mencari baberapa
buku pendukung lagi, terutama tinjauan historisnya dan harusnya kita
mendatangi kantor cabang untuk mewawancari beberapa tokoh partai yang
ada. Apa saja yang telah mereka sumbangkan untuk generasi muda tanah air
ini. Khususnya di daerah kita ini. Partai yang telah lama berkuasa dan
memenangkan beberapa pemilu pasti mudah buat kita menemukan
kader-kadernya. Aku punya teman, ayahnya seorang ketua cabang. Gimana
kalau hari ini mumpung libur kita ke toko buku dan besok kita izin untuk
ke kantor cabang dan wawancara. Setuju gak?” dengan tenang dan yakin
cowok itu memberi penjelasan.
”Haloo… halo halo, Nita dengar kan?” tanyanya curiga setelah tidak mendapatkan sebarang jawaban dari lawan bicaranya.
”Ya ya… aku dengar kok. Ok ok aku setuju, Kak” Qanita mulai gelagapan
seakan terbangun dari lamunan panjang dan terpesona dengan
penjelasan-penjelasan yang disampaikan Rifqi. Bahasanya tersusun, idenya
mengalir sempurna. Suaranya lembut namun tegas dan enak untuk didengar.
Akademisi tulen.
”Ok. Alamat Nita di mana? Nanti saya ke sana naek sepeda dan dari rumah Nita kita naek angkot ke pasar”
Setelah memberikan alamat dan denah lokasi rumahnya Qanita pun kembali
ke kamarnya. ‘Naik sepeda?’ tanyanya dalam hati. Berarti benar apa yang
dikatakan Merry. Dialah satu-satunya siswa sekolah itu yang ngontel
setiap hari. Tapi kok gak pernah ketemu dia sedang ngegenjot ya?
”Nit, tau gak itu sepeda siapa?” tanya Merry waktu melintasi halaman
parkir sambil menunjuk sebuah sepeda yang menyelip di antara
motor-motor.
”Paling juga sepeda Mas Karman”
”Bukan.
Penjaga sekolah kita kan pake motor. Itulah sepeda Sang Juara lomba
pidato kemaren. Siswa yang menyerahkan piala pidatonya kepada Bapak
Kepala sekolah waktu upacara kemaren itu”
”Terus napa?”
”Ya gak kenapa napa. Hari geneee… masih ngontel? Mending naik angkot
deh. Dan berdasarkan cerita Rinti, Doi juga tinggal bekerja sebagai
officeboy. Kren gak tu? Trus setiap Rabu dan Sabtu sore Doi jadi kacung
di lapangan tenis. Aku pernah ngeliat Doi lari-lari ngumpulin bola
tenis. Hebat ya?”
”Kayaknya niat banget mo tau dia?
Jangan-jangan lo naksir lagi ama tu cowok?” selidik Qanita curiga tapi
sedikit tak peduli. Toh juga gak ada urusan dengan dia. Kalau setiap
urusan orang dipikirin bisa botak kepala.
”Gak sih, cuma kagum
aja. Mana ada anak-anak sekarang yang sanggup untuk begitu. Bisanya cuma
minta duit, minta beliin motor, komputer, handpone, dan macam-macam.
Ngompas orang tua tiap bulan….”
”Emang dirimu nggak buk..?”
tanya Qanita lagi-lagi setengah sebel karena terkesan terlalu
mengagung-agungkan cowok itu. Yah paling juga kenal nama doang.
”Ya, kita semua… tapi Doi gak loh. Doi tu mandiri banget. Pekerja keras
dan pantang mengalah. Terdapat ciri-ciri orang besar pada dirinya.
Tidak mengalah pada kemiskinan, tidak tunduk pada nasib, juga tidak
mengemis pada keadaan
”Ahh…udah udah, Sok bijak lo Mer. Mo
gantiin Ibu Sa’adah ya? Yang ada, semua cowok cakep dan tajir di sekolah
ini sudah lo embat bat bat bat…. Perlu aku absen satu persatu? Derry,
Ardian, Nando, de el el adalah cowok-cowok tajir korban lo hehehe…. udah
ah, gue ke kelas dulu ya daaghhh…” Qanita meninggalkan Merry bersama
teman-teman lain di kantin sekolah itu. Qanita sama sekali tidak ambil
pusing dengan apa yang disampaikan Mery. ’peduli amat. Toh dia juga gak
kenal aku’ pikirnya.
Setelah mandi dan berpakaian Qanita
siap-siap sesuai jam yang telah disepakati. Agaknya kini tibalah
gilirannya untuk mengenal cowok yang ’didewakan’ di sekolahnya itu. Wow…
tepat waktu. Dengan bermandikan keringat, sedikit pun ia tidak
terlambat. ”Naik sepeda bukan alasan untuk ngaret”. jawabnya ringan.
==***==
Sejak hari itu waktu berlalu dengan kebersamaan. Karya tulis yang
dibebankan kepada mereka cukup alasan untuk membuat mereka bersama.
Sekolah pun cukup memberi kelonggaran selama satu minggu tersebut untuk
mempersiapkan bahan-bahan tulisan mereka. Menjelajah toko – toko buku
yang ada di kota kecil itu. Tidak banyak yang ditemukan, karena memang
ilmu pengetahun belum lebih penting dari ikat pinggang. Nyatanya penjual
ikat pinggang lebih banyak ketimbang toko buku. Kota Muara Bungo waktu
itu sedang menggalakkan pembangunan di sana sini. Namun sayang dari
sekian banyak bangunan yang didirikan baik oleh pemerintah mau pun
swasta tidak ada yang beroreantasi keilmuan. Semua mempertontonkan
simbol-simbol kapitalisme. Pasar bertingkat dijejali dengan
pakain-pakain bermerk dari yang palsu sampai ke setengah palsu. Jarang
yang asli. Tapi tidak ada toko buku. Kesulitan mencari buku yang
dibutuhkan, setengah mati. Tapi semua itu tidak membuat mereka berdua
mengeluh untuk melengkapi karya tulis itu dengan sumber-sumber yang
memuaskan. Qanita juga tipikal siswi pekerja keras dan cerdas. Walau
tidak selalu juara pertama tapi tidak pernah lewat dari juara tiga.
Tidak hanya persoalan-persoalan teknis seperti mencari buku, melakukan
wawancara, atau mengobrak-abrik perpustakaan sekolah mereka bersama,
tapi sampai pada perdebatan-perdebatan konten tulisan itu sendiri. Dari
kedekatan itu, melalui semua kegiatan mereka kerjakan bersam itulah
Qanita benar-banar memahami siapa sebenarnya kakak kelasnya itu. Tidak
salah Merry mengagumi cowok itu. Dapat dibayangkan, di sela-sela
tugasnya sebagai officeboy, kacung tenis lapangan, kegiatan pramuka,
kegiatan OSIS, dan tugas-tugas sekolahnya dia masih mampu meluangkan
waktu untuk karya tulis ini dengan maksimal. Tak pernah terdengar sekali
pun ia mengeluh. Selalu tepat waktu jika berjanji. Seakan tak mengenal
lelah dengan sepeda bututnya ke sana ke mari. Bawaannya ceria tanpa
beban. Tapi jika sedang serius berdiskusi, menyampaikan pengumuman OSIS
di depan kelas, pengarahan terhadap adik-adik pramuka, tidak ada yang
menyangka dia seorang anak petani miskin yang nekat menimba ilmu di
rantau orang. ”Miskin itu persoalan perut. Kaya itu persoalan isi
kepala. Itulah sebabnya banyak orang yang perutnya kosong tapi ia merasa
kaya dan dihormati karena kepalanya berisi” katanya suatu ketika saat
berdebat tentang kemiskinan.
Sebulan kemudian hasil karya tulis
itu diumumkan. Hasilnya sangat mengejutkan banyak orang. Bagaimana
mungkin SMU N 2 Muara Bungo yang terkenal dengan gudang juara itu luput.
Semua juara diborong oleh sekolah tetangga. Nyanyian ketidak-fair-an
mulai terdengar. Ternyata lomba karya ilmiah pun bisa jadi politis
ketika itu dilaksanakan oleh partai politik. Ibarat kulkas, apa pun yang
masuk ke dalamnya pasti dingin.
”Tak apa-apa, Ibu tau kalian
sudah berbuat maksimal. Jangan patah semangat. Bulan depan juga ada
lomba serupa yang diselenggarakan oleh Diknas. Kalian boleh ikut lagi”
Ibu Sa’adah kembali memberi motivasi.
Tapi bagi Qanita
perlombaan karya ilmiah itu ternyata tidak lagi menjadi perhatiannya.
Diam-diam kebersamaannya dengan Rifqi selama ini telah menyemai benih
asmara yang mendalam. Sekarang yang lebih menjadi perhatiannya adalah
bagaimana menahlukkan hati si ’dingin’ Rifqi. Misi berubah. Dari karya
ilmiyah menjadi karya asmara. Tapi ternyata tidak mudah. Tidak semudah
yang ia bayangkan. Berbagai cara untuk menarik perhatian kakak kelasnya
itu tidak berhasil. Untuk jujur terus terang tentu juga tidak mungkin.
Bahkan ia ’terpaksa’ menggaet Khalid, teman dekat Rifqi, hanya untuk
menarik perhatian. Membuat ia cemburu. Tapi ternyata semua itu sia-sia.
Nihil. Makin hari hubungan makin longgar lebih-lebih Rifqi semakin sibuk
menyiapkan diri untuk ujian akhir. Qanita pun tidak mau mengganggunya.
Hanya kadang untuk melepas rindu dan kangennya yang semakin dalam dan
semakin terpendam, ia hanya bisa mencuri-curi pandang disetiap
kesempatan. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian, ia menemukan
sepucuk surat yang ditempel di majalah dinding sekolah:
Ibu…
Entah bagaimana ananda ingin menyampaikan perasaan ananda saat menulis
surat ini. Sebesar apa syukur ananda kepada Allah yang telah memberikan
nikmat juga memberi kesempatan untuk menuntut ilmu di kota pelajar ini,
sebesar itu pulalah terima kasih yang ingin nanda sampaikan untuk ibu,
dan seluruh bapak ibu guru tanpa terkecuali di sekolah ini. Sekolah ini
sangat berati untuk nanda, Bu. Terutama Ibu yang telah terlalu banyak
memberikan bimbingan dan ajaran. Hanya Allahlah yang patut membalas
semua itu. Ananda yang lemah ini tidak memiliki kekuatan secuil pun
untuk melakukannya. Teriring doa semoga Ibu panjang umur dan tetap sehat
dalam mendidik anak-anak negeri ini, amin.
Ibu… Ananda
baru saja menerima pengumuman hasil ujian matrikulasi. Alhamdulillah
ananda lulus. Apa artinya, Bu? Sekolah kita sejajar dengan
sekolah-sekolah yang terkenal di kota-kota besar di negeri ini. Ujian
matrikulasi adalah ujian untuk menentukan standar yang telah ditetapkan
oleh universitas ini. Artinya, siapa yang tidak lulus ujian ini sekolah
mereka dapat diartikan belum memenuhi standar nasional. Masih terdapat
kekuarangan yang perlu dibenahi. Tanpa bermaksud membanggakan diri, Bu,
nanda ingin sampaikan bahwa anak didik ibu ini sama pintarnya dengan
mereka yang berasal dari Jakarta, Bali, Medan, Surabaya, Bandung dan
Jogja ini sendiri. Ini semua berkat didikan bapak ibu semua. Sampaikan
salam hormat nanda pada semua guru-guru ananda tanpa terkecuali. Semoga
ilmu yang diberikan mampu menjadi pelita di setiap langkah untuk
menapaki gelapnya kehidupan di masa yang akan datang.
Ibu…
Tentu kelulusan nanda atas ujian matrikulasi ini adalah gendrang awal
pertanda perjuangan segera dimulai. Pertarungan segera berlangsung. Tapi
pertempuran ini tidak hanya misi pribadi nanda sebagai anak petani
miskin yang harus berhasil mengukir prestasi. Tidak, Bu. Tapi jauh dari
itu, ini adalah misi banyak orang. Misi sekolah kita yang harus
mencatatkan diri sebagai salah satu penyumbang putera terbaiknya menjadi
alumni UGM yang sukses dikemudian hari. Misi orang-orang kampung ananda
yang ingin bangga di tengah perjuangan melawan kemiskinan dan
keterbelakangan. Maka dari itu, Bu, izinkanlah sekali lagi ananda
memohon doa dan restu dari Ibu dan Bapak Ibu guru semua, agar nanda
diberikan kelapangan dan kemudahan dalam melewati segala tantangan dalam
misi ini.
Ibu… Sampaikan juga salam ananda kepada
adik-adik kelas semua. Sampaikan pada mereka bahwa mereka telah memilih
sekolah yang tepat. Sekolah yang memiliki disiplin tinggi dimana bapak
dan ibu gurunya iklas dalam mendidik anak-anak bangsa. Sekolah ini
mestinya diberi penghargaan tidak hanya karena terkenal dengan
disiplinnya tapi juga prestasi yang dihasilkan. Kedisiplinan sekolah
kita perlu mendapat catatan sendiri, Bu. Belum pernah ada siswa/siswi
sekolah ini yang berkeliaran di pasar pada jam sekolah. Tidak ada yang
masih berkeliaran saat bel masuk berbunyi. Sekolah kembali ramai sore
harinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan ekstrakulrikuler. Sekolah ini
tidak terkalahkan, tidak juga oleh ‘SMU Favorit’ di kota ini. Ibu,
ananda bangga sekali telah dididik di sekolah ini.
Ibu, itulah
yang dapat ananda sampaikan pada lembaran ini. Ananda akan menyiapkan
diri untuk menempuh perjuangan yang ananda tau tidak mudah dan penuh
tantangan ini. Seperti yang sering ibu bilang pada ananda ”Kamu pasti
bisa, Rifqi”. Ananda akan pertaruhkan segala yang ananda bisa agar suatu
saat nanti ananda akan datang ke sekolah tercinta ini dengan gelar
sarjana. Terima casi, Bu.
Dari anakmu
Rifqi Mukhtarullah.
Lama ia mematung membaca surat itu tak terasa buliran-buliran bening
menetes satu persatu melintasi kedua pipinya. Kata-kata yang tertulis di
lembaran surat itu seakan terngiang-ngiang di kupingnya. Di retina
matanya bermain bayangan wajah yang sangat ia kenal beberapa bulan
terakhir. Senyuman dan candanya datang menggoda. Iya merasakan
hentakan-hentakan energi perjuangan yang terpancar. Hari-hari yang
terlewati bersamanya telah menanamkan benih cinta yang mendalam bagi
Qanita. Cinta yang tak berbalas. “Nita, ada yang lebih penting dari
cinta dan asmara yaitu cita-cita” begitu katanya ketika ditanya mengapa
ia tidak pernah pacaran seperti teman-teman yang lain. Itulah pula yang
menjadi alasan kuat bagi Qanita harus memendam rasa cinta dan sayangnya
di lubuk nurani yang paling dalam. Ia bungkus rapih walau kadang
menyanyat pilu. Ia berjanji akan menjaga rasa itu entah sampai bila.
Ingatan akan orang yang paling dicintai memang tidak mudah sirna begitu
saja. Walau ia telah bertahun-tahun menghilang ditelan angan dan
cita-citanya, namun sepotong nama Rifqi sedikitpun tak ia lupakan. Cinta
dan kekagumannya begitu mendalam walau tak pernah terucap dan
terungkap. Semua membeku dan menyatu dalam kalbu. Bahkan di malam
pernikahannya pun ia masih sempat meneteskan air mata ketika teringat
sepotong nama itu. ”Untuk sebuah nama: Entah dimana rimbamu saat ini.
Melalui coretan ini, izinkan aku meminta doa dan restumu. Besok aku akan
menikah. Aku akan segera kehilangnmu, tapi tidak kehilangan cintaku
padamu, walau kau tak pernah tahu. Aku yakin suatu saat nanti kita akan
bertemu. Entah kapan aku tidak tahu. Dan bila saat itu tiba, aku
berjanji tuk mengungkapkan semua yang kupendam selama ini. Aku tidak
ingin memebawanya sampai ke liang lahat. Kau harus tau, aku sangat
mencintaimu” setetes air mata jatuh di buku harian itu. Empat tahun yang
lalu.
Hari ini ia terbangun kembali. Air mata tak dapat
ditahannya ketika menemukan potongan yang hilang itu kembali. Potongan
hatinya itu berdiri tersenyum manis di layar monitor di hadapannya.
Bahagia karena ia temukan kembali potongan sukma yang telah lama
berkelana. Sedih karena tak mungkin lagi ia miliki potongan jiwa itu.
”Kok Bunda lama cekali sih… Rara kan sudah lapar, Bunda” suara sikecil
kembali membubarkan pengembaraan masa lalu itu. Masa yang tak akan
pernah hilang dalam ingatannya. Mudah-mudahan si Rara kecil mampu
mengisi kekosongan itu.
”Iya sayang, Bunda nulis satu kalimat
saja. Sebentar ya.” dipangkunya putri kecil itu dan ia menulis sepotong
kalimat di wall facebook-nya. ”Tak layu, tapi tidak mungkin jua ia mekar
karena musim telah berganti’”
nicee
BalasHapus